Selasa, 29 Mei 2012

Stress pada Lansia



 
Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran dan kondisi fisik seseorang. Jadi stress disini adalah respon atau tanggapan dari tubuh, baik secara fisik maupun mental terhadap tututan atau perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengancam diri individu serta mengarah pada perilaku yang tidak wajar.

Stress yang dirasakan oleh manusia dapat mempengaruhi kehidupannya karena dapat menimbulkan hilangnya selera makan, bicara berlebihan atau juga menarik diri, gejala muka yang memerah atau tubuh yang menggigil kedinginan, dan masih banyak lagi.

Stress dapat menimbulkan dampak negative, misalnya: pusing, tekanan darah tinggi, mudah marah, sedih, sulit berkonsentrasi, nafsu makan berubah, tidak bisa tidur ataupun merokok terus menerus. Selain itu, stress juga dapat menyebabkan seseorang menjadi lebih sensitif / peka terhadap depresi, kecelakaan virus, masuk angin, serangan jantung, bahkan kanker.

Empat gejala stress 

Stress tidak hanya menyangkut pada segi lahir, tetapi juga batin kita, maka tidak mengherankan jika gejala stress ditemukan dalam segala segi diri kita yang penting : fisik, emosi, intelek, dan interpersonal. Beberapa contoh dari gejala-gejala stress adalah sebagai berikut :

a. Gejala fisik
Gejala stress yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi fisik atau tubuh dari seseorang. Beberapa gejala yang sering dialami oleh lanjut usia :
  • Sakit kepala, pusing, pening,
  • Tidur tidak teratur : Insomnia (susah tidur), bangun terlalu awal,
  • Sakit punggung, terutama dibagian bawah,
  • Urat tegang-tegang terutama pada leher dan bahu,
  • Tekanan darah tinggi atau serangan jantung,
  • Berubah selera makan,
  • Mudah lelah atau kehilangan daya energi,
  • Bertambah banyak melakukan kekeliruan atau kesalahan kerja dan hidup.

b. Gejala emosional
Gejala stress yang berkaitan dengan keadaan psikis atau mental dari lanjut usia. Bila tidak ditanggani dengan baik, stress ini dapat membawa orang berurusan dengan psikiater. Contoh dari gejala emosional:
  • Gelisah atau cemas,
  • Sedih, depresi, menangis,
  • Mood atau suasana hati sering berubah-ubah,
  • Mudah panas atau cepat marah,
  • Rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman,
  • Terlalu peka dan mudah tersinggung,
  • Gampang menyerah pada orang dan mempunyai sikap bermusuhan,
  • Emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental (burn out).

c. Gejala intelektual
Stress juga berdampak pada kerja intelek. Gejala intelektual ini berkaitan dengan pola piker seseorang. Gejala yang paling sering muncul pada lanjut usia:
  • Susah berkonsentrasi dan memusatkan pikiran,
  • Sulit membuat keputusan,
  • Mudah lupa (pikun),
  • Daya ingat menurun,
  • Melamun secara berlebihan,
  • Produktifitas atau prestasi kerja menurun,
  • Mutu kerja rendah,
  • Dalam kerja bertambah jumlah kekeliruan yang dibuat.

d. Gejala interpersonal
Gejala stress yang mempengaruhi hubungan dengan orang lain, baik di dalam maupun di luar rumah . gejala-gejala tersebut antara lain :
  • Kehilangan kepercayaan pada orang lain,
  • Mudah menyalahkan orang lain,
  • Mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya,
  • Suka mencari-cari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan kata-kata,
  • Mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri,
  • Mendiamkan atau memusuhi orang lain.

Gejala stress pada lanjut usia

Gejala-gejala  stres tentu saja berbeda pada setiap orang karena pengalaman stress amat pribadi sifatnya. Pada lanjut usia, gejala dari stress ini akan lebih kelihatan karena lanjut usia lebih rentan terhadap stress.

Gejala stress pada lanjut usia meliputi penyakit darah tinggi, stroke, jantung koroner yang tinggi frekuensinya, menangis, rasa ketakutan yang berlebihan, menyalahkan diri dan rasa penyesalan yang tidak sesuai, daya ingat menurun, pikun, tidak bisa mengatasi persoalan dengan benar, tidak mudah percaya pada orang lain, tidak sabar menghadapi orang lain, dan menarik diri dari pergaulan. Bila banyak dari gejala tersebut diatas terjadi pada seseorang, khususnya di sini pada lanjut usia, maka ada kemungkinan lanjut usia tersebut betul-betul mengalami stress.

Stress pada lanjut usia tersebut dapat diartikan sebagai kondisi tidak seimbang, tekanan atau gangguan yang tidak menyenangkan, yang terjadi menyeluruh pada tubuh dan dapat mempengaruhi kehidupan, yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan dan system sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang berkaitan dengan berfikir dan respon dari ancaman dan bahaya pada lanjut usia. Dimana terjadi penurunan kemampuan mempertahankan hidup, menyesuaikan diri terhadap lingkungan, fungsi badan dan kejiwaan secara alami dan yang akhirnya mengakibatkan kematian.

Singkatnya stress pada lanjut usia adalah kondisi tidak seimbang, terjadi menyeluruh pada tubuh yang tercipta bila orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan dan system sumber daya biologis, psikologis dan sosial, dimana terjadi penurunan kemampuan mempertahankan hidup yang akhirnya mengkibatkan kematian.

Faktor Penyebab

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stress pada lanjut usia, antara lain:

1. Kondisi kesehatan fisik
Proses penuaan mengakibatkan perubahan struktur dan fisiologis pada lanjut usia seperti:
  • penurunan penglihatan,
  • penurunan pendengaran,
  • penurunan sistem paru,
  • penurunan pada persendian tulang.
Seiring dengan penurunan fungsi fisiologis itu, ketahanan tubuh lansia pun semakin menurun sehingga berbagai penyakit dapat hinggap dengan mudah.

Penurunan kemampuan fisik ini dapat menyebabkan orang menjadi stress, yang dulunya semua pekerjaan bisa dilakukan sendirian, kini terkadang harus dibantu orang lain. Perasaan membebani orang lain inilah yang dapat menyebabkan stress.

Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stress pada kaum lanjut usia yang mengalaminya. Macam perubahan fungsi fisiologis yang dialami seseorang tergantung pada penyakit yang dideritanya.

Semakin sehat jasmani lansia semakin jarang ia terkena stress, dan sebaliknya, semakin mundur kesehatannya, maka semakin mudah lansia itu terkena stress.

Para lansia yang rentan terhada stress misalnya lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatis kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia dengan isolasi sosial.

2. Kondisi psikologi
Faktor non fiisik seorang lansia, misalnya sifat, kepribadian, cara pandang, tingkat pendidikan, dll dapat berpengaruh dalam menghadapi stress. Seorang lansia yang memiliki pikiran yang positif, biasanya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan positif pula. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup akan kecil resiko terkena stress. Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup (optimis), semakin jauh ia dari stress. Semakin berserah diri kepada Tuhan, semakin terbebaskan seseorang dari stress. Semakin “santai” suatu kejadian dipersepsi, semakin sukar seseorang terjangkit stress karena kejadian tersebut. Begitu juga sebaliknya.

3. Keluarga
Keluarga berperan besar dalam kejadian stress pada lansia. Jika terdapat masalah dalam keluarga, hal ini dapat menjadi pemicu stress bagi lansia, misalnya adanya konflik dalam keluarga, hubungan yang tidak harmonis, merasa jadi beban keluarga, dll.

Sebaliknya, peran keluarga juga sangat besar dalam menjauhkan stress pada lansia. Dukungan, penghargaan, rasa hormat, rasa peduli dan lain-lain sangat besar pengaruhnya untuk menjauhkan atau meredakan stress pada lansia.

4. Lingkungan
Stress juga dapat dipicu oleh hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti stres adaptasi lingkungan baru, teman-teman yang sudah tidak ada lagi, dan lain-lain.

Lansia juga bisa terkena stress karena lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan yang padat, macet, dan bising bisa menjadi sumber stress. Selain itu, lingkungan yang kotor, buruk, penuh dengan pencemaran juga dapat membuat merasa tidak nyaman dan pikiran selalu was-was akan dampak buruk pencemaran pada kesehatannya, sehingga lama-kelamaan dapat membuat lansia stress.

5. Pekerjaan
Pekerjaan dapat menjadi pemicu stres bagi lansia. Penurunan kondisi fisik dan psikis berpengaruh pada turunnya produktifitas para lansia. Jika pada waktu mudanya ia telah mempersiapkan cukup "bekal" untuk masa tua, maka ia bisa menikmati masa pensiunnya.

Tetapi jika lansia merasa belum cukup mempersiapkan "bekal"nya untuk masa pensiun, maka ia dituntut untuk terus bekerja. Beban kerja yang tidak didukung oleh kondisi fisik dan psikis dapat memicu lansia stress. Apalagi adanya tuntutan untuk pemenuhan nafkah keluarga.

Jika lansia memilih bekerja, pilihlah pekerjaan yang tidak terlalu berat, tidak perlu target-targetan, tidak perlu persaingan, deadline, dll. Misalnya memelihara ayam atau ternak lain, atau berkebun, buat kolam ikan di belakang rumah, sangat baik bagi lansia, selain sehat berolahraga ada juga pendapatan bagi keluarga.

Tip mengatasi stress:
Jika anda mengalami stress, cobalah melakukan beberapa hal di bawah ini, semuanya mudah dan murah dilakukan, tidak perlu pakai obat, tidak perlu ke dokter, tidak perlu biaya dan bis dilakukan di rumah anda.
Olahraga
Berolahraga teratur merupakan hal yang sangat penting dalam memerangi stress. Berolahraga akan memobilisasi otot-otot kita, mempercepat aliran darah dan membuka paru-paru untuk mangambil lebih banyak oksigen. Dampaknya anda akan memperoleh tidur yang lebih nyenyak dan kesehatan yang lebih baik.
Hobi
Lakukan hobi anda, seperti memancing, mendaki gunung atau apapun yang anda senangi. Anda bisa juga melakukan petualangan yang belum pernah anda alami sebelumnya seperti berarung jeram misalkan. Melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini dapat menghilangkan pikiran yang menyebabkan stress.
Minum air putih
Minum air putih dipercaya dapat meredakan stress. Dengan banyak minum air putih akan membantu memulihkan tubuh kita dari kekurangan cairan, karena kekurangan cairan dapat menimbulkan keletihan.
Meditasi
Lakukan meditasi. Para ahli kesehatan mengatakan bahwa alat yang sangat ampuh dalam mengatasi stress adalah meditasi. Meditasi sangat membantu membersihkan pikiran kita dan meningkatkan konsentrasi. Telah terbukti bahwa meditasi selama 15 menit sama dengan kita beristirahat selama 1 jam. Meskipun anda hanya melakukan meditasi selama 2 menit, tetap akan cukup membantu. Meditasi akan sangat membantu anda melupakan hal-hal yang dapat menyebabkan stress.
Makan
Ketika seseorang mengalami stress, suatu reaksi yang alamiah jika orang tersebut kemudian melampiaskannya dengan mengkonsumsi banyak makanan. Perlu anda ketahui bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat tinggi dapat meningkatkan kadar insulin di dalam tubuh, dimana insulin ini dapat membuat tubuh menjadi cepat lelah dan mood anda menjadi jelek.
Seks
Seks adalah penyembuhan yang sangat baik untuk menghilangkan stress. Banyak dokter mengatakan bahwa seks adalah cara yang luar biasa dalam meredam kemarahan dan stress.
Tidur
Jika tubuh kita sedang lelah, tidak mudah bagi kita dalam mengendalikan stress. Tidak cukup tidur akan mempengaruhi keseluruhan hari kita, dan biasanya kita mengalami hari yang buruk karena kurang tidur menyebabkan kita tidak dapat berkonsentrasi dan melihat suatu permasalahan lebih buruk dari yang seharusnya. Tidur yang baik bagi orang dewasa adalah 7 jam sehari.

Sabtu, 14 Januari 2012

Proposal Penelitian PNEUMONIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam Pembangunan Menuju Indonesia Sehat 2015 yang diadopsi dari Millennium Development Goals (MDGs-2015) ialah membawa pembangunan kearah yang lebih adil bagi semua pihak, bagi manusia dan lingkungan hidup, bagi laki-laki dan perempuan, bagi orang tua dan anak-anak, serta bagi generasi sekarang dan generasi mendatang. Salah satu sasarannya adalah penurunan Angka Kematian Anak. Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak merupakan salah satu pemberantasan penyakit yang termasuk dalam Program Pembangunan Nasional. (Depkes RI, 2010).
Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang paling penting pada anak. Salah satu  penyakit saluran pernapasan pada anak adalah pneumonia.
Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi dan setiap tahunnya menyerang sekitar 1% dari seluruh penduduk di Amerika Serikat. Meskipun telah ada kemajuan dalam bidang antibiotik, pneumonia tetap merupakan penyebab kematian terbanyak keenam di Amerika Serikat    (Price & Wilson, 2006).
Munculnya organisme nosokomial yang didapat dari rumah sakit yang resisten terhadap antibotik, ditemukannya organisme – organisme yang baru (seperti Legionella), bertambahnya jumlah penjamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan adanya penyakit seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan penyebab– penyebab pneumonia, dan ini menjelaskan mengapa pneumonia masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok (Price & Wilson, 2006).
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak dinegara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama peumonia (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita dinegara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan  terdapat polusi udara (polusi industri atau asap rokok)  (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu. Pasien peminum alkohol, pasca bedah, dan penderita penyakit pernpasan kronik atau infeksi virus juga mudah terserang penyakit ini. Hampir 60% dari pasien-pasien yang kritis di ICU dapat menderita pneumonia, dan setengah dari pasien-pasien tersebut akan meninggal (Price & Wilson, 2006).
Di negara  berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae, dan Staphylococcus Aureus. Di negara maju, pneumonia pada ank terutama disebabkan oleh virus, dismaping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk melakukan penelitian pneumonia pada anak dan menemukan etiologi virus saja  sebanyak 32% , campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang paling banyak ditmukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan Virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae tipe B, dan Mycoplasma Pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak berusia dibawah 2 tahun (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Di Sungai Penuh, berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh jumlah kejadian pneumonia bertambah setiap tahunnya. Data tahun 2011 menyebutkan bahwa dari 6 puskesmas utama yang ada di Kota Sungai Penuh jumlah pertama terbesar ada di Puskesmas Rawang dengan jumlah 89 penderita selama tahun 2011 (Dinkes Kota Sungai Penuh, 2011).  Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan bulanan Puskesmas Rawang, setiap bulannya (dari bulan Januari sampai November 2011) berkisar 10-20  penderita setiap     bulannya. Dan jumlah terbesar berada pada kisaran usia 1–4 tahun   (Laporan bulanan Puskesmas Rawang, 2011). Secara sistematis dapat dilihat pada tabel  dibawah ini:







Table 1.1

REKAPITULASI LAPORAN PROGRAM P2 ISPA

DINAS KESEHATAN KOTA SUNGAI PENUH

TAHUN 2011









NO.
PUSKESMAS
JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH BALITA
REALISASI PENEMUAN PENDERITA
PNEUMONIA
PNEUMONIA BERAT
< 1 TH
1-4 TH
< 1 TH
1-4 TH
1
Sungai Penuh
21398
457
2
4
0
0
2
Rawang
14963
358
8
89
0
0
3
Kumun
9549
179
11
8
0
0
4
Desa Gedang
10326
145
5
16
0
1
5
Tanah Kampung
8603
168
0
0
0
0
6
Koto Baru
18050
287
3
2
0
0
TOTAL
82889
1594
29
119
0
1
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh, 2011

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Rawang pada tanggal 20 Desember 2011, pada 14 balita yang terkena pneumonia, 7 diantaranya terjadi pada anak usia 1- 4 tahun dan 2 orang disebabkan oleh status imunisasi yang tidak lengkap, dan 1 orang menderita malnutrisi, 4 orang tidak mendapatkan ASI ekslusif. Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang Faktor – Faktor  Yang Berhubungan Dengan Kejadian  Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011. Tapi tidak semua variabel yang diteliti karena keterbatasan waktu dan biaya. Variabel yang diteliti adalah umur anak, status gizi, status imunisasi, dan pemberian ASI ekslusif.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Faktor-Faktor Apa saja Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011 ?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Diketahuinya Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
2.      Tujuan Khusus
a.       Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
b.      Diketahuinya distribusi frekuensi umur balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
c.       Diketahuinya distribusi frekuensi status imunisasi balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
d.      Diketahuinya distribusi frekuensi status gizi balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
e.       Diketahuinya distribusi frekuensi pemberian ASI Ekslusif pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
f.       Diketahuinya hubungan Umur anak dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
g.      Diketahuinya hubungan Status Imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
h.      Diketahuinya hubungan Status Gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.
i.        Diketahuinya hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh Tahun 2011.

D.    Manfaat Penelitian
1.      Bagi Peneliti
Sebagai bahan untuk mengembangkan kemampuan dalam melakukan penelitian , menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta pengalaman dalam mengumpulkan, memproses, dan menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian.

2.      Bagi Puskesmas
Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan khususnya Pneumonia pada balita.
3.      Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan sumbangan agar dapat dimanfaatkan dengan baik bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa S1-Keperawatan STIKES Indonesia Padang . 
4.      Bagi Peneliti Berikutnya
Sebagai bahan referensi, data dasar dan data pembanding untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita.

E.     Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Rawang Kota Sungai Penuh tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada Balita. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember sampai Agustus 2012. Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita diantaranya Umur anak, Status imunisasi, Status Gizi dan Pemberian ASI, sedangkan variabel dependennya adalah kejadian Pneumonia pada Balita. Yang menjadi responden pada penelitian ini adalah semua ibu balita dengan pneumonia yang datang ke Puskesmas Rawang untuk berobat. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembaran kuesioner dengan rancangan cross sectional study menggunakan metode analitik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pneumonia
1.      Defenisi
Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru.(Cecily L. Betz dkk, 2002). Pneumonia, inflamasi parenkim paru, merupakan hal yang umum selama masa kanak-kanak tetapi lebih sering terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak awal (Donna L. Wong, 2004 ). Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiolgi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing. (Dr.Rusepno Hassan dkk, 2007).
Pneumonia adalah peradangan paru biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (stafilokokus, pneumokokus, atau streptokokus), atau virus (respiratory syncytial virus) (Kathleen Morgan Speer, 2008). Peradangan pada paru yang tidak saja mengenai jaringan paru tapi dapat juga mengenai bronkhioli (dr. taufan nugroho, 2011).

2.      Etioligi
Pneumonia disebabkan oleh bakteri, virus, mycoplasma pneumonia, jamur, aspirasi, pneumonia hypostatic, dan sindrom Loeffler. Pneumonia karena virus bisa menerima infeksi primer atau komplikasi dari suatu penyakit virus, seperti morbilli atau varicella (Nursalam, dkk,2008).
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, dan Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae, dan Staphylococcus Aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Streptococcus Pneumoniae (pneumokokus) adalah penyebab yang paling sering dari pneumonia bakteri, baik yang didapat dari masyarakat (kira-kira 75% dari semua kasus) maupun dari rumah sakit. Staphylococcus Aureus (kokus gram positif) dan asil aerobik gram negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella Pneumoniae, dan E. colli menyebabkan sebagian besar pneumonia nosokomial (Price & Wilson, 2006).

3.      Klasifikasi
a.       Pembagian anatomis:
1)      Pneumonia lobaris
Biasanya gejala penyakit datang mendadak, tetapi kadang-kadang didahului oleh infeksi traktus  respiratorius bagian atas. Pada anak besar bisa disertai badan menggigil dan pada bayi disertai kejang. Suhu naik cepat sampai 39-40C dan suhu ini biasanya tipe febris kontinua. Nafas menjadi sesak, disertai nafas cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri pada dada (Dr Rusepno Hasan dkk, 2007)
Anak lebih suka tiduran pada dada yang sakit. Batuk mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang khas tampak setelah 1-2 hari. Pada permulaan suara pernafasan melemah sedangkan pada perkusi tidak jelas ada kelainan. (Ngastiyah, 2005)
2)      Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia)
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik tetapi dengan adanya napas dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung daripada luas daerah auskultasi yang terkena, pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah, nyaring halus atau sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar keredupan dan suara pada suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi, ronki terdengar lagi. (Ngastiyah, 2005)
Bronchopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tubuh. Sebagian infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak dan orang tua. Beberapa keadaan yang dapat berkomplikasi bronchopneumonia ialah: pertussis, morbilli, penyakit infeksi lain yang disertai demam, infeksi saluran pernafasan bagian atas, penyakit jantung, gizi buruk, alkoholisme menahun, keadaan pasca bedah dan keadaan terminak sesudah penyakit lama. (dr. Sutisna Himawan, 1990)
3)      Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi atau anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan oleh respiratory syncyal virus (50%). (Ngastiyah, 2005)
b.      Pembagian pneumonia bakteri:
1)      Pneumonia stafilokokus
Pneumonia stafilokokus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, tergolong pneumonia yang berat karena cepat menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan. Pada umumnya pneumonia ini diderita bayi, yaitu 30% di bawah umur 3 bulan dan 70% sebelum 1 tahun (Dr. Rusepno Hassan dkk, 2007)
2)      Pneumonia streptokokus
Grup A Streptokokus hemolyticus biasanya menyebabkan infeksi traktus respiratorius bagian atas, tetapi kadang-kadang dapat juga menimbulkan pneumonia. Pneumonia streptokokus sering merupakan komplikasi penyakit virus seperti influenza, campak, cacar air dan infeksi bakteri lain seperti pertusis, pneumonia pneumokokus. (Dr. Rusepno Hassan, 2007)
3)      Pneumonia pneumokokus
Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan serotipe 1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan pada anak ditemukan tipe 14,1,6,9. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan berkurangnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumokokus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi (Dr. Rusepno Hassan, 2007).

Berdasarkan pedoman MTBS (2000), pneumonia dapat diklasifikasikan secara sederhana berdasarkan gejala yang ada. Klasifikasi ini bukanlah merupakan diagnose medis dan hanya bertujuan untuk membantu para petugas kesehatan yang berada di lapangan untuk menentukan tindakan yang perlu diambil, sehingga anak tidak terlambat mendapatkan penanganan. Klasifikasi tersebut adalah:
a.       Pneumonia berat atau penyakit sangat berat, apabila terdapat gejala:
1)      Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak bisa minum atau menetek, selalu memuntahkan semuanya, kejang atau anak letargis / tidak sadar.
2)      Terdapat tarikan dinding dada dalam
3)      Terdapat stridor (suara napas bunyi ‘grok-grok’ saat inspirasi)
b.      Pneumonia, apabila terdapat gejala napas cepat. Batasan napas cepat adalah:
1)      Anak usia 2-12 bulan apabila frekuensi napas 50x/menit atau lebih
2)      Anak usia 12 bulan-5tahun apabila frekuensi napas 40x/menit atau lebih
c.       Batuk bukan pneumonia, apabila tidak ada tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat berat.
(DR.Nursalam,M.Nurs dkk,2008).

4.      Patogenesis
Apabila kuman patogen mencapai bronkioli terminalis, cairan edema masuk ke dalam alveoli, diikuti oleh leukosit dalam jumlah banyak, kemudian makrofag akan membersihkan debris sel dan bakteri. Proses ini bisa meluas lebih jauh lagi ke segala atau lobus yang sama, atau mungkin ke bagian lain dari paru-paru melalui cairan bronkial yang terinfeksi. Melalui saluran limfe paru, bakteri dapat mencapai aliran darah dan pluro viscelaris. Karena jaringan paru mengalami konsolidasi, maka kapasitas vital dan comlience paru menurun, serta aliran darah yang mengalami konsolidasi menimbulkan pirau/ shunt kanan ke kiri dengan ventilasi perfusi yang mismatch, sehingga berakibat pada hipoksia. Kerja jantung mungkin meningkat oleh karena saturasi oksigen yang menurun dan hiperkapnie. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas (DR.Nursalam,M.Nurs dkk,2008).
Di antara semua pneumonia bakteri, patogenesis  dari Pneumonia pneumococcus merupakan yang paling banyak diselidiki. Pneumococcus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mucus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka Pneumococcus menimbulkan respon khas yang terdiri dari empat     tahap yang berurutan, yaitu:
a.       Kongesti (4-12 jam pertama): eksudat serosa masuk krdalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor
b.      Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya): paru tampak merah dan bergranula  karena sel-sel eritrosit, fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli.
c.       Hepatisasi Kelabu (3-8 hari): paru tampak kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi didalam alveoli yang terserang
d.      Resolusi (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada struktur semula (Price and Wilson,2006: 806).

5.      Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis  pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga  sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS.
Beberapa factor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi nonifeksi yang relatif  lebih sering, dan factor pathogenesis. Di samping itu, kelompok usia pada anak merupakan factor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
a.       Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b.      Gejala ganguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis tanda klinis seperti pekak perkusi,suara nafas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal seperti mntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivis, otitis media, faringitis, dan laryngitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lututtertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrate alveolar. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi epusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi pleura bertambah, sesak nafas semakin bertambah,tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul.
Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen data menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis.abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi pneumonia (Nastiti N. Rahajoe dkk, 2008).

Tanda- tanda klinis utama termasuk hal-hal berikut ini:
a.       Batuk
b.      Dispnea
c.       Takipnea
d.      Sianosis
e.       Melemahnya suara nafas
f.       Retraksi dinding toraks
g.      Napas cuping hidung
h.      Nyeri abdomen (disebabkan oleh iritasi diafragma oleh paru terinfeksi didekatnya)
i.        Batuk paroksismal mirip pertusis (umumnya terjadi pada anak yang lebih kecil)
j.        Anak-anak yang lebih besar tidak nampak sakit
(Cecily L. Betz dkk, 2002).

6.      Pencegahan
a.       Menghindarkan bayi/anak dari paparan asap rokok, polusi udara dan tempat keramaian yang berpotensi penularan.
b.      Menghindarkan bayi/anak dari kontak dengan penderita ISPA.
c.       Membiasakan memberikan ASI.
d.      Segera berobat jika mendapati anak kita mengalami panas, batuk, pilek terlebih jika disertai suara serak, sesak nafas dan adanya retraksi.
e.       Periksakan kembali jika dalam dua hari belum menampakkan perbaikan dan segera ke rumah sakit jika kondisi anak memburuk.
f.       Pemberian vaksinasi
g.      Vaksin Pneumokokus (untuk mencegah pneumonia karena Streptococcus pneumonia)
h.      Vaksin Flu
i.        Vaksin Hib (untuk mencegah pneumonia karena Haemophillus influenzae type b)

B.     Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Pneumonia pada Balita
1.      Umur Anak
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang denga  baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu (Price & Wilson, 2006).
Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab atau etiologi pneumonia (Ostapchuk, 2004).
a.       Group B Strepptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab yang paling umum pada neonatal ( bayi berumur 0-28 hari) dan merupakan transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.
b.      Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae (Correa, 1998)
c.       Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupkan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.
(Depkes RI, 2009).
2.      Status Imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
Imunisasi dasar adalah imunisasi wajib yang sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang terdiri dari BCG untuk mencegah penyakit tuberculosis, DPT untuk mencegah penyakit diphteri, pertusis dan tetanus, imunisasi campak untuk mencegah penyakit campak, imunisasi polio untuk mencegah penyakit polio, dan Hepatitis B untuk mencegah penyakit Hepatitis B (Ranuh, 2005).
Imunisasi yang penting berkaitan dengan pneumonia antara lain imunisasi DPT, campak, pneumokokus, dan Hib. Imunisasi DPT dan campak adalah imunisasi wajib yang harus diberikan pada anak, sedangkan imunisasi pneumokokus dan Hib merupakan imunisasi anjuran yang dapat diberikan pada anak karena memberikan kekebalan terhadap kuman penyebab pneumonia.
Jenis-jenis imunisasi yang berhubungan dengan kejadian pneumonia adalah :
a.       DPT
Imunisasi ini diberikan untuk mnimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit diftia, tetanus dan pertusis (batuk rejan) yang salah satu gejala dari penyakit pertusis adalah infeksi saluran pernafasan. Imunisasi ini diberikan lima kali pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 18 bulan, dan 5 tahun.
b.      Vaksin Campak
Imunisasi ini bertujuan untuk mendapatkan kekebalan terhadp penyakitcampak secara aktif dan komplikasi dari penyakit campak dapat menyebabkan pneumonia. Imunisasi ini diberikan pada usia 9 bulan.
c.       Hib
Imunisasi ini bertujuan untuk mencegah pneumonia karena Haemophilus Influenza type B dan diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 15 bulan.
d.      Pneumokokus
Imunisasi ini bertujuan untuk mencegah pneumonia karena Streptococcus Pneumonia dan diberikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 12 bulan.
(Depkes RI, 2009).
3.      Status Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbs, transportasi, penyimpanan, metabolism dan pengeluaran zat-zat sisa untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan  dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energy (Supariasa dkk, 2002). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier).
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000).
            Ada empat bentuk nutrisi :
a.       Under nutrition: kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu
b.      Specific defisiency: kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan vitamin A, yodium, Fe, dan lain-lain
c.       Over nutrition: kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu
d.      Imbalance: karena disproporsi zat gizi, misalnya: kolesterol terjadi karena tidak seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein) dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein).
Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut Reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah WHO-NCHS (I Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2002).



Tabel 2.1
Klasifikasi status gizi Balita berdasarkan WHO-NCHS
Indeks
Status Gizi
Ambang Batas
Berat badan menurut umur ( BB/U)
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
Gizi lebih
≥ -2 SD s/d +2 SD
< -2 SD s/d ≥ -3 SD
< -3 SD
> + 2 SD
Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Normal
Pendek
≥ -2 SD
≥ -3 SD s/d < -2 SD
Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Normal
Kurus
Kurus sekali
Gemuk
≥ -2 SD s/d +2 SD
≥ -3 SD s/d < -2 SD
< -3 SD
> + 2 SD

4.      Pemberian ASI Ekslusif
WHO dan UNICEF mendefenisikan pemberian makan bayi yang optimal adalah pemberian ASI ekslusif mulai dari saat lahir hingga 4-6 bulan dan makanan tambahan yang sesuai diberikan ketika bayi sudah berumur 6 bulan. ASI merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan, dan penelitian menunjukkan perkembangan kognitifnya lebih tinggi dari pada bayi yang mendapat susu formula (Gibney, 2009)
ASI yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000).

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional study,  yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (umur anak, status gizi, status imunisasi, dan pemberian ASI ekslusif) dengan variabel dependen (kejadian pneumonia pada balita) pada waktu bersamaan (Notoatmodjo, 2005 ).

B.     Tempat & Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2011 sampai bulan Agustus 2012.

C.    Populasi & Sampel Penelitian
1.      Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Rawang Kota Sungai Penuh yaitu sebanyak 938 orang.


2.      Sampel
a.      Besar Sampel
  Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 90 orang yang didapat dengan menggunakan rumus:
Keterangan:    
  =    Jumlah sampel
   =    Besar populasi
  = Tingkat Kepercayaan atau ketepatan   yang diinginkan ( 0,1 )
(Notoatmodjo, 2005: 92) 
Jadi, 
                                                =   
                                                             =                       
=          
=    90, 36 = 90 orang
b.      Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini peneliti memilih multi stage random sampling, yaitu pertama dengan mengundi desa yang mungkin terpilih menjadi tempat pengambilan sampel, sehingga didapat 3 desa, yaitu Desa Koto Teluk, Desa Kampung Diilir, dan Desa Koto Dian. Kemudian peneliti mengundi populasi yang bakal menjadi sampel yang terdapat dalam 3 desa tersebut.
Untuk mengundi yaitu dengan mengambil 20% dari 938, mendapatkan hasil 188, kemudian  mendapatkan hasil mendapatkan hasil 4 diundi mengeluarkan angka 3 sehingga didapatkan 3,6,9 dan seterusnya sampai berjumlah 90 orang.
c.       Kriteria Sampel
Inklusi :
1)      Balita-balita yang terdiagnosis pneumonia
2)      Orang tua balita bersedia menjadi responden
3)      Tidak buta aksara
4)      Pada saat penelitian responden berada dirumah
Ekslusi :
1)      Ibu balita tidak bersedia menjadi responden
2)      Pada saat penelitian responden tidak berdomisili di desa tersebut.
3)      Buta aksara

D.    Teknik Pengumpulan Data
1.      Jenis Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder
a.       Data Primer
Data umur, status imunisasi dan pemberian ASI ekslusif diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner, sedangkan status gizi ditentukan secara antropometri dengan mengukur berat badan menurut umur.
b. Data Sekunder
Data diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh tentang Kejadian Pneumonia pada balita di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh, data dari Puskesmas Rawang tentang jumlah balita diwilayah binaan.
2.      Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan kepustakaan dan observasi serta lembar observasi untuk data yang diamati langsung oleh peneliti.
3.      Langkah-langkah pengumpulan data
Adapun pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi :
a.       Meminta surat izin penelitian dari Institusi Pendidikan yaitu dari akademik Prodi S1-Keperawatan STIKES Indonesia.
b.      Mengurus perizinan dari Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh untuk mengambilan data tentang kejadian Pneumonia.
c.       Mengurus Perizinan untuk melakukan penelitian dari Puskesmas Kecamatan Hamparan Rawang Kota Sungai Penuh.
d.       Meminta persetujuan dari responden yaitu ibu balita yang menderita Pneumania dengan menandatangani surat persetujuan/ inform consent menjadi responden.
e.       Melakukan wawancara dengan orang tua yang balitanya terkena pneumonia
4.      Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dalam suatu penelitian merupakan suatu langkah yang sangat penting agar data yang diperoleh dapat memberikan jawaban atau gambaran informasi tentang penelitian untuk melakukan pengolahan data. Data diolah secara komputerisasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.      Menyunting Data (Editing)
Setelah data dari  responden didapati, peneliti memeriksa kembali semua jawaban yang telah diisi oleh responden di kuesioner dan melihat kelengkapannya. Didapati dari  responden semua jawaban kuesioner telah lengkap.
b.      Mengkode Data (Coding)
Setelah data lengkap, peneliti memberikan pengkodean data  dengan penyederhanaan jawaban dengan cara mengganti huruf dengan skor seperti berikut :
Variabel kejadian pneumonia, apabila terjadi pneumonia diberi kode 0, jika tidak terjadi pneumonia diberi kode 1. Variabel status gizi, apabila status gizi nya baik diberi kode 1, jika tidak baik diberi kode 0. Untuk variabel pemberian ASI ekslusif dan status imunisasi apabila jawaban benar diberi nilai 1, jika salah diberi nilai 0.

c.       Membuat Struktur Data  (Tabulating)
Selanjutnya peneliti menyusun data yang tersedia menurut urutan, mengelompokkan data  dan menghitung jumlah masing-masing variabel, memindahkan variabel yang telah dikelompokkan kedalam tabel yang disiapkan.
d.      Memasukkan Data (Entry)
Selanjutnya peneliti menuangkan data yang diperoleh ke dalam master tabel secara komputerisasi dengan baris responden dan pada kolom berisi pertanyaan.
e.       Membersihkan Data (Cleaning)
Kemudian data diperiksa ulang kembali dengan melibatkan distribusi frekuensi dan mendapatkan nilai yang logis dan tidak ditemukan kesalahan pada data.

E.     Analisa Data
1.  Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk mengetahui gambaran distribusi dan presentase dari masing-masing variabel penelitian, baik variabel independen maupun variabel dependen. Sehingga diketahui distribusi frekuensi Umur anak, Status imunisasi, Status Gizi dan Pemberian ASI dengan kejadian Pneumonia pada balita.


2.      Analisa Bivariat
Analisa Bivariat dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel yaitu variabel independen yang meliputi Umur anak, Status imunisasi, Status Gizi dan Pemberian ASI dengan variabel dependen yaitu kejadian Pneumonia pada balita. Pengujian dilakukan dengan menggunakan chi square menggunakan program SPSS versi 11,5. Dalam mengambil keputusan uji statistik digunakan batas bermakna 0,05 dengan ketentuan bermakna apabila p < 0,05 dan tidak bemakna apabila p > 0,05.

F.     Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita dinegara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan  terdapat polusi udara (polusi industri atau asap rokok)  (Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010).
Sedangkan menurut teori yang terdapat dalam buku ilmu kesehatan anak yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah anak dengan daya tahan tubuh menurun, anak dengan penyakit menahun, anak dengan malnutrisi, anak dengan trauma paru dll. Adapun faktor yang diteliti adalah usia, penyakit pernafasan kronik dan malnutrisi. Maka kerangka konsep yang muncul berdasarkan teori diatas adalah :
Bagan 3.1
Kerangka Teori

Faktor Resiko Pneumonia Pada Anak
·         Anak dengan daya tahan tubuh yang menurun
·         Anak dengan trauma paru atau kelainan struktur dada atau paru-paru
·         Anak dengan malnutrisi
·         Anak dengan defisiensi sistem imun.
·         Anak dengan penyakit menahun
·         Faktor antrogen seperti anastesi, aspirasi
·         Anak dengan pengobatan antidiotika yang tak sempurna



Pneumonia
                                                                                   
 


Faktor-Faktor Risiko Pneumonia pada bayi :
§  berat badan lahir rendah (BBLR)
§  tidak mendapat imunisasi,
§  tidak mendapat ASI yang adekuat
§  malnutrisi
§  defisiensi vitamin A,
§  tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring,
§  tingginya pajanan  terdapat polusi udara (polusi industri atau asap rokok)
Sumber: ilmu kesehatan anak vol. 3 Universitas Indonesia
Sumber :  Nastiti N.Rahajoe dkk, 2010




Bagan 3.2
Kerangka Konsep

Variabel Independen                                          Variabel Dependen
Umur anak
Status imunisasi
Pemberian ASI
Status Gizi
PNEUMONIA
 








G.    Defenisi Operasional
Tabel 3.1
Defenisi Operasional
Variabel
Defenisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Dependen
Pneumonia
Penyakit parenkim paru yang terjadi pada balita ditandai dengan nafas ≥ 40 kali/menit & suhu ≥ 37,5°C
Lembar
observasi
Observasi
1.      Positif Pneumonia
2.      Negatif Pneumonia
Ordinal
Independent
Umur anak

Batasan dimana anak mudah terkena infeksi pneumonia
Lembar kuesioner
Wawancara
1.      < 1 tahun
2.      1-4 tahun
Ordinal
Status imunisasi

Imunisasi yang sudah diterima pada anak sesuai usia 0-12 bulan , imunisasi yang diteliti didalam penelitian ini adalah riwayat imunisasi DPT dan campak.
Lembar kuesioner
Wawancara
1.      Imuniasi lengkap
2.      Imunisasi tidak lengkap
Ordinal
Status Gizi

Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makana dan status gizi ditentukan menggunakan antropometri berat badan per umur
Timbangan berat badan
Menimbang berat badan
1.      Gizi baik
2.      Gizi kurang
Ordinal
Pemberian ASI ekslusif

Pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan tanpa tambahan cairan lain dan tanpa tambahan makanan padat smpai bayi berusia 6 bulan
Lembar kuesioner
Wawancara
1.      ASI ekslusif
2.      Bukan ASI ekslusif
Ordinal


H.    Hipotesis Penelitian
1.      Ada hubungan Umur anak dengan kejadian pneumonia pada balita.
2.      Ada hubungan Status Imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita.
3.      Ada hubungan Status Gizi dengan kejadian pneumonia pada balita.
4.      Ada hubungan Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian pneumonia pada balita.